Cinta itu memiliki nada-nada. Tersembunyi di balik tuts-tuts.
Diungkap oleh sepasang tangan dengan sepuluh jari. Bukan melalui otak,
tetapi melalui hati, cita dan rasa terhadap cinta. Nada-nada itu
terbelenggu di balik tuts, memaksa insan yang tengah dimabuk cinta
mengurainya dalam sebuah alunan tak beraturan, namun berbunyi indah.
Cinta adalah alunan nada-nada.
– Tuts –
Bagian I
“Apa ini?” tanya Vero pada Venus, kekasihnya, mengenai buku yang diberikan Venus padanya.
“Itu adalah cinta.”
Vero membuka buku itu. Sebuah buku nada yang sudah dihiasi rangkaian not-not balok. Judulnya tertulis, ‘Tuts V and V’.
“Kata orang-orang, cinta adalah rangkaian rasa yang tak dapat diungkap
secara tepat dengan kata-kata. Tapi aku tidak setuju sepenuhnya.
Menurutku, cinta itu adalah serangkaian nada yang diungkap dalam melodi.
Alunan cinta adalah sebuah jelmaan. Karena alunan itu berasal dari
kamu.”
Vero merasa sangat terharu. Ia mendekap Venus, laksana mendekap
berjuta cahaya matahari. Venus adalah sinarnya. Venus adalah
kehangatannya. Venus adalah mimpi yang menjadi nyata. Venus adalah
cintanya.
“Terima kasih, Ve. Boleh aku mendengarnya sekarang?”
Venus tersenyum, “Sabar ya, ada waktunya.”
“Kapan?”
“Minggu depan, hari Sabtu, di sini.”
“Di sini? Di ruang kelas piano?”
Venus hanya mengangguk.
—
“Ma, aku pergi dulu ya” pamit Vero sambil mencium kedua sisi pipi mamanya.
“Kamu cantik sekali. Mau kemana, sih?”
“Mau ketemu Venus!” Ia menjawab dengan semangat.
“Hati-hati, ya!”
“Yup! Titip salam buat papa!”
Vero membawa kendaraan roda empat itu dengan laju. Hampir saja ia
melanggar rambu lalu lintas. Setibanya di kampus, Vero segera berlari
menuju kelas piano. Semakin dekat ke tempat itu, semakin jantungnya
berdebar kencang. Tak biasanya ia berdebar seperti itu hanya untuk
bertemu dengan Venus. Kini ruangan itu sudah ada di depannya. Masih
tertutup. Ia malangkah perlahan.
“Ve?!” Panggilnya dari luar pintu. Tapi tidak ada jawaban.
Ia membuka pintu perlahan. Dan betapa terkejutnya ia melihat tatanan
di dalam ruangan itu, bagaikan terkena sihir. Di lantai bersebaran
kelopak bunga mawar putih. Dua Lilin di atas piano, dan beberapa lilin
di sisi-sisi sudut ruangan. Jendela dibiarkan terbuka, membuat cahaya
matahari sore menari indah di sisi-sisi ruangan. Di salah satu sisi
dinding terpampang sebuah kain putih lebar yang dihiasi dengan
kelopak-kelopak bunga mawar merah, dedaunan hijau, daun bintang berwarna
kuning, ada fotonya dengan Venus di sana, juga sebuah tulisan, ‘Selamat
Ulang Tahun Vero-ku’.
Vero memasuki ruang itu dan berjalan menuju piano. Ia duduk di
kursinya dan melihat sebuah kertas yang diselipkan di dalam buku nada
yang tempo itu diberikan Venus padanya. Ia menarik kertas itu.
- Untuk Vero,
Selamat Ulang Tahun Sayang.
Semoga kamu suka dengan kejutan ini.
Tetapi, ini baru pembukaan.
Akan ada kejutan yang berikutnya.
Semoga kamu menyukainya.
Tunggu aku, ya.
Venus. -
Senja mulai berlalu. Tetapi Venus belum juga datang. Namun Vero tak
pernah bosan menantinya. Entah kenapa tiba-tiba angin berhembus kencang
melalui pintu. Vero bergegas menutup pintu itu dan kembali duduk. Ia
mengambil buku itu. Melihat not-not yang ada di sana. Kemudian membuka
piano dan mulai memainkan nada-nadanya.
Itu musik yang sangat indah. Nadanya mengalun mengisi setiap sisi ruangan.
Dan, tiba-tiba pintu terbuka. Vero berhenti memainkan piano. Ia menoleh ke pintu. Di luar sana terlihat sangat gelap.
“Ve? Itu kamu?”
Tidak ada jawaban. Namun, bayangan yang panjang memasuki ruangan itu. Entah siapa pemiliknya.
“Ve, jangan bercanda.”
Seseorang dengan mantel hitam masuk ke dalam ruangan itu dan menutup pintunya. Vero mengenali orang itu.
“Bapak mengagetkan saya. Sedang apa bapak di sini?”
Pria itu tidak menjawab. Ia diam. Langit mendung di luar
menghantarkan sebuah cahaya kilat, menerangi ruangan itu untuk beberapa
saat. Mantel pria itu bersimbah darah. Di tangannya tergenggam erat
sebuah palu. Vero merasa takut. Ia mulai menjauh dari piano itu.
Tiba-tiba pria itu berlari menyerangnya. Palunya menghantam tuts
piano. Vero berlari menuju pintu, namun pria itu berhasil menarik
rambutnya. Ia menghempaskan Vero hingga menghantam piano itu. Buku itu
terjatuh.
Vero berusaha melawan, namun perlawanannya dikalahkan dengan sebuah
pukulan dari palu, tepat di kepala. Ia terhempas ke belakang. Ia meraih
kursi piano. Namun sayang, ketika ia akan melemparnya, pria itu sudah
lebih dahulu merampas dan menghantamkan kursi itu pada Vero. Vero
kembali terhempas.
Kini hanya ada satu jalan keluar. Ia berlari ke sana. Berdiri untuk
sesaat. Dan sekali lagi, cahaya kilat menerangi langit. Wajah pria keji
itu tergambar jelas di sana.
Ia melompat. Tanpa ragu. Tanpa rasa takut. Ia percaya, Venus akan menangkapnya di bawah sana.
—
“Gitu ceritanya! Jadi, anak-anak di kampus ini percaya, kalau kita
bisa memainkan not-not itu, kita akan dibawa ke suatu tempat. Di sana
kita akan bertemu banyak orang, tapi kita harus mencari dan menemukan
cinta sejati kita. Nah, kalau dia mau ikut dengan kita, kita harus
memainkan lagu itu sama-sama dengan dia. Dengan begitu, kita bisa
kembali ke dunia kita dengan membawa cinta sejati!” ucap Remi.
“Jadi kalau misalnya kita gagal?” tanya Cello.
“Habis deh lu! Kalau cuma salah memainkan doang waktu lu mau mulai, ya
‘gak akan terjadi apa-apa. Tapi kalau lu bisa memainkan dengan benar,
saat itu lu harus hati-hati. Lu ‘gak akan bisa milih buat menghentikan
permainan. Lu harus selesaikan misi. Dan kalau gagal, lu akan menjadi
tuts. Menggantikan tuts-tuts yang hilang!” ucap Arta dengan wajah
serius.
“Serius lu?!” seru Cello.
Remi dan Arta saling melihat. Mereka mengerutkan alis. Kemudian kembali melihat Cello. Dan,
“HAHAHAHAHAHA!”
“Ya ampun El! Lu udah over dosis ditinggal cewek kali ya! Hahaha! Masa
lu percaya yang begituan sih?! Itu cuma rumor kale!” seru Arta.
“Kurang kerjaan kalian!”
“Tapi, ruangan dan piano itu memang ada,” ucap Remi.
“Mau ngerjain gua lagi?”
“Gak. Ruangan itu memang ada. Bahkan buku nada itu masih tetap ada di
sana. Sudah berapa kali buku dan piano itu dipindahkan, tapi tetap aja
kembali ke ruangan itu. Kalau yang ini, gua gak berani bercanda. Lu
boleh tanya petugas kebersihan dan penjaga malam.”
“Di mana ruangan itu?”
“Di bagian paling belakang kampus. Gedung lama, lantai tiga. Ruangan paling ujung kanan,” ucap Arta.
—
Malam itu, Cello terus memikirkan cerita tentang ‘tuts’ tersebut. Tak
biasanya ia begitu memikirkan cerita-cerita seperti itu. Namun,
kemanusiannya mendorong keluar rasa ingin tahunya. ‘Ingin tahu’ yang
keterlaluan. Ia sampai tak bisa tidur malam itu. Insomnia akut selama
dua hari.
Beberapa hari kemudian, akhirnya ia memuaskan hasrat ingin tahu itu.
Sekarang ia sudah berdiri tepat di depan pintu ruang piano. Di luarnya
terlihat tulisan, ‘Dilarang masuk’. Aneh, semakin dilarang, ia malah
semakin ingin masuk.
Ia memegang knop pintu. Tiba-tiba jantungnya berdebar kencang. Tapi
rasa ingin tahu yang kelewatan, membuat ia memutar knop itu. Pintu
terbuka. Angin berhembus keluar, menyapu tubuhnya, membuat bulu di
sekujur tangannya tegak berdiri.
Ruangan itu cukup berantakan, tetapi tidak terlalu buruk. Ia melihat
sebuah piano di tengah-tengah ruangan itu. Ia mendekatinya. Piano itu
sudah usang. Catnya mengelupas. Ada bagian yang lecet, penyok, dan ada
yang terlihat remuk. Banyak tutsnya yang sudah hilang, seperti yang
diceritakan Remi dan Arta. Buku itu. Ya, buku itu benar-benar ada.
Cello duduk di kursi dan mengambil buku itu dengan hati-hati. Membukanya.
Lembar pertama:
- Mainkan not-notnya.
Maka waktu akan berlari.
Temukan cinta sejatimu di sana.
Mainkan kembali not-not itu.
Awal hingga akhir.
Akhir hingga awal.
Berdua. Bersama.
Dan bawa pulang cinta sejatimu.
Pada senja ke tujuh, jika kau gagal,
kau akan melengkapi tuts yang hilang. -
Cello membalik lembaran pertama, dan terlihatlah serangkaian not
balok di sana. Ia penasaran dengan bunyi lagunya. Ia melihat tuts-tuts
yang tersisa pada piano itu, kemudian mengamati nada-nadanya. Ini
benar-benar aneh. Tuts-tuts yang tersisa itu dapat digunakan untuk
memainkan secara utuh not-not pada buku itu.
Tangannya akan segera mamainkan lagu. Tetapi terhenti. Sesuatu
berbisik lembut dalam pikirannya. Mengatakan, ‘jangan terburu-buru’.
Cello menarik nafas panjang. Ia teringat pula cerita dari kedua sohibnya
itu. Hampir saja ia menjadi tuts.
Cello menutup buku itu dan membawanya pulang.
—
“Lu serius, buku ini dari dalam ruangan itu?!” Seru Remi dan Arta
bergantian ketika melihat buku nada yang terletak di atas meja itu.
Mereka tidak mau menyentuhnya.
“Lu gak baca judul lagunya? ‘Tuts V and V’. Sama persis dengan cerita kalian waktu itu!”
“Gila lu, ya! Nekad banget lu! Udah bosen hidup apa lu!” seru Remi.
“Eh, kalian bilang, buku ini ‘gak bisa dipisahkan dari piano itu. Tapi, udah dua hari, ini buku ada sama gua.”
“Gak waras lu, El! Cepat lu kembaliin itu buku!”
“Mungkin ‘gak ada salahnya gua coba membuktikan rumor cerita ‘tuts’ ini. Tau aja gua bisa ketemu cinta sejati gua!”
Cello membaca kembali kata-kata yang tertulis pada halaman pertama
itu. Sementara kedua sohibnya sibuk menyuruh ia untuk mengembalikan buku
itu.
“Eh, apa maksudnya ya kalimat ini? Mainkan kembali not-not itu. Awal
hingga akhir. Akhir hingga awal. Terus ini, pada senja ke tujuh. Apa
maksudnya?!”
Remi dan Arta ikut memperhatikan kalimat itu. Semuanya berpikir.
“Mungkin gini. Setelah lu ketemu sama cinta lu, lu berdua mesti
memainkan lagu itu sama-sama. Dari awal sampe habis. Lalu mainkan lagi
tapi dari akhir sampe ke awalnya,” jawab Remi.
“Pada senja ke tujuh. Mungkin itu artinya lu hanya diberi waktu tujuh
hari, dan permainan berakhir pada senja di hari ke tujuh,” ucap Arta.
“Ini bukan hal sepele, El! Seandainya cerita itu ternyata benar, lu bisa mati kalau gagal!” seru Remi.
Cello berpikir. Ia tahu cerita itu tidak dapat disepelekan. Tapi, semakin ia takut, semakin kuat rasa ingin tahunya. Manusia.
“Siang ini, lu berdua temani gua ke sana ya! Please!!”
Remi dan Arta saling melihat. Kemudian kembali melihat Cello.
“Lu ada hp kan?” tanya Arta.
“Kalau cerita itu memang benar, lu harus kabari kita sesering mungkin. Paham!” seru Remi.
“Ok! Lu berdua memang sohib gua yang paling keren!”
“Tapi ingat El! Tujuh hari. Dan lu harus janji, lu bakal balik dengan cinta sejati lu!”
Siang itu setelah kampus sepi, mereka bertiga menyelinap ke gedung
lama di bagian belakang. Naik ke lantai tiga, menuju ruang piano di
ujung kanan. Semakin mendekati ruangan itu, jantung mereka semakin
meronta. Dan sekarang mereka sudah berdiri di depan pintu. Entah kenapa
panas di siang itu, digantikan oleh tiupan angin dingin. Horor.
Cello memegang knop pintu.
“Lu harus kembali El!” seru Remi.
“Kalau terjadi apa-apa, cepat kabari kita!”
“Yoi!”
Mereka bertiga berpeluk erat. Setelah itu, tanpa ragu Cello memutar
knop pintu, membukanya, dan masuk ke dalam. Belum lama, pintu itu segera
tertutup. Ia berusaha membukanya, tetapi percuma. Saat itu ia tahu,
permainan akan dimulai.
Dengan hati-hati, Cello duduk di depan piano. Meletakkan buku itu
pada tempatnya. Sebelum memulai, ia berdoa lebih dulu. Kini apa pun yang
terjadi, ia harus siap. Jarinya menyentuh tuts. Matanya menatap teliti
not-not di buku itu. Ia sudah mencoba memainkannya di rumah. Dan kini,
alunan musik ‘Tuts V and V’ mengalir melalui sentuhan jemarinya. Musik
yang indah. Penuh irama cinta. Ia turut terhanyut dalam setiap nadanya.
SELESAI.
Cello melihat sekitarnya. Tapi tidak ada yang berubah. Semua sama
persis. Padahal ia telah memainkan not-not itu dengan benar. Mungkin
benar, cerita itu hanya gosip biasa. Dengan lega, Cello bangkit berdiri.
Berjalan menuju pintu dengan enteng. Dan saat pintu terbuka, ternyata
dua sohibnya masih berada di sana. Mereka sedang bercanda.
“Bro!!” Cello segera merangkul bahu mereka berdua.
Dan, HILANG.
Remi dan Arta menghilang bagai asap yang tertelan tiupan angin. Cello
mematung melihat kejadian itu. Di ufuk barat, sinar matahari menuju
senja. Orange cerah. Seingat Cello, hari masih siang bolong. Ia mencoba
meregangkan kaku tubuhnya. Melihat dan mengamati sekitar. Kampus itu
sepi, seperti sebelumnya. Tetapi kali ini, terlalu.
Ia memberanikan diri untuk melangkah. Menuruni anak tangga dengan
hati-hati. Ia mulai merasa takut. Jangan-jangan permainan ini sudah
dimulai. Ia berlari menuju pintu gerbang yang tertutup. Dengan
tergesa-gesa Cello membuka gerbang itu, dan keluar dari kampus.
Sudah dimulai.
“Apa ini? Dimana aku?”
Tempat itu berbeda. Itu bukan pemandangan biasa yang selalu ia lihat
setelah melewati gerbang kampus. Namun ada banyak orang di sana. Hilir
lalu dengan kesibukannya masing-masing. Komunitas itu normal. Mereka
bukan sekawanan zombie, hantu atau lainnya. Tempat itu juga normal.
Bukan kuburan, atau tempat angker. Ini adalah sebuah dunia, di dunia
yang berbeda.
“Ini sudah dimulai. Cerita itu bukan sekedar isapan jempol.” Cello
teringat akan batas waktu permainan itu. Tujuh hari. “Gua harus
buru-buru. Ini senja pertama.”
Cello berlari menjauh dari kampus itu. Matanya liar memperhatikan
semua tempat, memperhatikan semua orang, khususnya perempuan. Ia harus
segera menemukan cinta sejatinya. Entah kenapa, adegan-adegan dalam FTV
melayang di kepalanya. Mungkin pertemuan dengan cinta sejatinya diawali
dengan sebuah tubrukan; atau tiba-tiba ia tersandung batu dan seorang
cewek datang menolongnya; atau seorang perempuan dengan dandanan ala
gadis desa tiba-tiba terjatuh dari sepedanya tepat di depan Cello. Atau.
“Pantai?”
Cello berdiri kaku di pinggir jalan itu. Pemandangan indah terhampar
tepat di seberang jalan. Sebuah pantai maha indah dengan pasir putih,
dan cahaya senja matahari. Tetapi bukan itu yang membuatnnya terpaku di
sana. Ada hal lain. Para mahadewi. Wanita-wanita berkulit mulus,
berambut pirang, dengan sehelai kain melilit di pinggangnya, dan bikini
yang miskin bahan alias pas-pasan.
Ia menuju surga itu. Berharap menemukan cinta sejatinya di antara
lusinan wanita berbikini. Menerjang jalan raya yang penuh kendaraan.
Hampir saja ia dicium sebuah mobil pick up. Kini ia menapak di atas
hamparan pasir putih bermandikan cahaya mentari sore. Mulutnya
ternganga. Jari telunjuknya menari nakal, memilih-milih mana cewek yang
akan dikaitnya.
Namun, sebuah suara mengalihkan perhatiannya. Sebuah tawa yang lebih
indah dari tawa mana pun. Bagai alunan sejuta melodi cinta.
Membangkitkan rasa yang dulu pernah ia rasakan ketika kali pertama
melihat Windy – mantan pertama -.
Ia mencari-cari asal suara itu. Siapa pemiliknya. Ah, itu dia.
Ketemu. Seorang gadis dengan gaun putih tipis di atas lutut. Ia sedang
bermain layangan bersama beberapa anak kecil. Tiba-tiba musik pantai
berganti. Memutar lagu dengan alunan musik romantis, ‘Thosand Years _
Chirstina Perri’.
Kemudian, semua hiruk pikuk di pantai itu mulai meredup. Satu-persatu
orang-orang menghilang. Meninggalkan debur ombak dan debar jantung.
Tiap denyut nadi berteriak kata, ‘cinta’. Bahkan tiupan angin terdengar
berbisik ‘cinta’, meniup helaian rambut sang mahadewi. Kini, mata sang
dewi menatap lurus pada Cello. Seakan merasakan hadirnya sebuah getar
cinta. Ia tersenyum manis. Senyumnya mampu merenggut waktu. Kini tiap
detik melebur bagai t e t e s – t e t e s e m b u n p a g i. S l o w M
o t i o n.
Tiba-tiba roh pujangga merasuk ke dalam tubuh Cello.
“Cinta, pencaharianku berakhir sudah.
Segala rasa, kini terungkap.
Saat kulihat parasmu, Indah.
Cinta..”
Dan, “Mas, mas! Bunga kertasnya. Tiga lima ribu! Murah!” ucap seorang
perempuan penjual bunga kertas. Musik ‘Thosand Years’ itu menjadi kusut
dan berhenti seketika. Semua lamunan Cello berakhir.
“Oh, boleh bu,” ucapnya dengan wajah terlihat bodoh. Setelah membayar
bunga itu, ia kembali melihat mahadewinya. Dan tiba-tiba ia teringat
akan batas waktu. Ini bukan waktunya bermain-main! pikirnya.
Ia memberanikan diri mendekati gadis itu. Berharap akan mendapat tanggapan positif dan signal ‘harapan’ dari sang gadis.
“Hai. Boleh kenalan gak?”
“Oh, boleh. Kenalin,” gadis itu menjulurkan tangan kanannya, dan Cello segera menyambut jabat tangan itu, “Mikha.”
“Gua, Cello. Tapi akrab dipanggil El.”
“Kamu orang baru ya, di sini?”
“Iya,” jawab Cello dengan wajah yang masih terpukau menatap sang dewi.
“Asalnya dari mana?”
“Kampus.” Masih dengan wajah bodohnya.
“Oh, anaknya rektor, ya?”
“Bukan.”
“Dosen?”
“Gak.”
“Petugas kebersihan?”
“Haa?” Cello bangun dari alam hayalnya. “Bukan, bukan! Gua cuma pelancong.”
“O, maaf.”
Cello teringat pada bunga kertas yang baru saja dibelinya.
“Oh iya. Ini,” ia menyerahkan tiga tangkai bunga kertas itu, “buat kamu.”
Mikha menerimanya, “terima kasih, ya. Oh iya, ayo duduk di sana. Kamu ‘gak terburu-buru ‘kan?”
“Enggak kok!” Ia tampak bersemangat.
Mereka duduk di sebuah pondok berteduh ditemani es kelapa.
“Jadi, selama di sini, kamu tinggal dimana?
“Gak tau.”
“Loh, kok gitu? Emang keluarga kamu dimana?”
“Aku pergi dari tempat asalku, untuk mencari dan menemukan sesuatu.”
“Kalau boleh tahu, mencari apa? Kerjaan?”
“Bukan.”
“Jadi?”
“Cinta sejati.” Jeda sesaat. “Tapi aku hanya punya waktu tujuh hari.
Pada senja ke tujuh, jika aku tidak berhasil membawa cinta sejati itu,
maka aku akan mati,” ucapnya terus terang.
Mikha terdiam mendengar hal itu. Alisnya berkerut dalam. Baru kali
ini ia mendengar seseorang mengucapkan hal seperti itu dengan serius.
Tetapi, ia tidak begitu mau menanggapi.
“Jadi, kamu akan tinggal dimana selama mencari ‘cinta sejati’ itu?”
“Tanah adalah alas tidurku. Langit adalah atapku,” ucapnya berlagak puitis.
“Oh, jadi kalau hujan dan petir, apanya kamu? Hahahaha! Kalau kamu mau, kamu boleh tinggal di rumah kecil di sebelah villaku.”
“Emang keluarga kamu ‘gak marah?”
“Hahaha! Mama, papaku udah gak ada. Aku anak tunggal. So, santai aja.”
“Maaf.”
“Gak apa. Ya udah, ayo!” ajaknya.
Senja pertama, berlalu.
—
Hari ketiga. Malam.
“Gak apa-apa aku mampir ke villa kamu? Takutnya ada yang marah,” ucap Cello dengan modus yang melatarbelakangi.
“Siapa yang marah? Aku tinggal sendirian di sini,” jawab Mikha, polos.
“Pacar kamu?”
“Aku gak punya pacar. Atau tepatnya, belum ketemu yang cocok.”
‘Yes! Peluang! Peluang!’ batin Cello. Saat itu juga, ia melihat sebuah benda yang terletak di sudut ruangan, dekat jendela.
“Kamu bisa main piano, ya?”
Mikha menoleh ke belakang, melihat piano itu.
“Aku nggak begitu bisa. Bundaku yang dulu sering memainkan piano itu. Ada satu lagu yang sering ia mainkan berdua dengan Ayah.”
“Boleh aku mencobanya sebentar?”
“Tentu.”
Cello mendekati piano itu dan duduk di depannya. Ia membuka tutupnya,
mengusap lembut permukaan tuts itu, seakan ia sangat merindukan benda
tersebut. Hanya ada satu lagu yang saat itu terlintas di kepalanya.
Jemarinya mulai menari di atas tuts-tuts itu.
Mikha mendengarkannya dengan seksama. Lagu itu terdengar tidak asing. Sangat tidak asing.
‘Ini?.. Benar, lagu ini! Ini lagu yang dulu sering dimainkan ayah dan
bunda!’ seru Mikha dalam hatinya. Ia begitu terkejut mendengar Cello
memainkan lagu yang dulu sering ia dengar. Ia terus mendengarkan lagu
itu. Sebuah rasa muncul di hatinya. Rindu yang teramat dalam kepada ayah
dan bunda. Sampai ia tidak sadar air matanya sudah mengalir, menetes
terjatuh.
Ketika Cello selesai memainkan lagu itu, ia beralih melihat Mikha.
Dan ia sangat terkejut mendapati mahadewinya meneteskan air mata. Ia
segera bangkit berdiri.
“Mikha, kenapa kamu menangis?”
“Aku rindu ayah dan bunda.” Suaranya parau.
Cello bisa memahami apa yang dirasakan Mikha. Rindu itu memang sebuah
penyakit yang kelewatan, apalagi ketika yang dirindu tak lagi tinggal
di dunia ini. Keterlaluan. Perasaan manusia memang penuh gejolak,
terkadang indah, namun terkadang menyiksa.
Cello mendengar sebuah perintah dari dalam hatinya. Mengirim perintah
itu kepada otak dan mengalirkannya pada seluruh jaringan syaraf. Ia
merangkul sang maha cinta. Mikha tak menolak rangkulan itu. Kini ia
leluasa meluapkan tangisnya, bersandar pada dada Cello.
Setelah tangisnya mereda, Cello mengajaknya duduk di sofa. Ia menarik sehelai tisu di atas meja, dan memberikannya pada Mikha.
“Terima kasih,” ia mengeringkan air matanya. “Maaf. Bikin malu aja, nangis di depan kamu.”
“Tidak apa-apa, kok! Wanita itu cantik ketika ia menangis.”
“Hahaha! Gombal!” jeda, “oh, iya. Lagu itu.. Itu lagu yang dulu sering dimainkan ayah dan bunda.”
Bagai tersambar petir, Cello sangat terkejut mendengar hal itu.
“Aku tidak tahu apa judul lagu itu. Tetapi tiap kali menanyakan itu lagu apa, mereka berdua menjawab,”
“INI ADALAH CINTA.” Cello dan Mikha mengatakan hal itu bersama-sama.
Kini keduanya bagai tersengat jutaan volt tenaga listrik. Setrumnya membuat mulut mereka kaku. Diam. Hening.
“Kata bunda, lagu itu mempertemukan dia dengan ayah.” Mikha memecah keheningan.
“Dan sekarang, lagu itu mempertemukan aku dan kamu.”
—
Hari keempat.
Mikha mengajak Cello berkeliling kota tersebut. Mereka mengunjungi
beberapa tempat rekreasi dan resto yang terkenal. Kota itu memang bukan
kota yang Cello kenal. Semuanya berbeda.
Mereka kembali ke pantai dan berteduh di sebuah pondok. Setelah
bercerita panjang lebar mengenai diri mereka masing-masing, akhirnya
Cello memutuskan untuk membuka pembicaraan mengenai maksud kedatangannya
ke tempat itu.
“Mik, aku hanya punya waktu tiga hari lagi. Pada senja ke tujuh, jika aku tidak berhasil, aku akan lenyap.”
“Tentang cinta sejati itu ya?”
“Iya.”
Hening.
“Mikha. Aku yakin, perjumpaan kita bukan suatu kebetulan. Bukan suatu
kebetulan pula, kamu mengenal lagu ‘Tuts V and V’ itu. Sejak pertama
melihat kamu, aku percaya, kamu adalah cinta sejati itu.”
Mikha menarik nafas dalam, “tapi.. aku tidak tahu harus menjawab apa.
Aku takut, aku belum memiliki rasa seperti yang kamu miliki saat ini.”
Cello tersenyum, “Nggak apa-apa, kok.”
“Tapi, gimana ceritanya, sampe kamu bisa datang ke sini? Dan kenapa kamu bisa mati, kalau ‘gak ketemu sama cinta sejati?”
Cello menarik nafas dalam, dan mulai menuturkan cerita itu dari awal
mulanya hingga ia bisa sampai ke tempat itu, tanpa ada satu pun yang ia
lewatkan. Mikha seakan tak percaya dengan apa yang ceritakan Cello.
Sampai akhirnya Cello membawa Mikha ke kampusnya. Dan ternyata pada
waktu yang bergulir di dunia Mikha, kampus Cello hanyalah sebuah gedung
tua yang sudah lama ditinggalkan, karena berita yang beredar mengenai
kasus pembunuhan terhadap dua orang mahasiswa. Cello menuntun Mikha
menuju ruang piano itu. Dan menunjukkan piano yang ia gunakan untuk
memainkan lagu ‘Tuts V and V’, serta buku lagu itu yang terletak di atas
piano.
Mikha tak banyak bertanya atau berkomentar. Bahkan sampai mereka tiba di villa.
Senja keempat, berlalu.
—
Hari kelima.
Pagi itu tidak seperti biasanya. Ketika Cello turun dari tempat
tidur, ia merasa udara begitu dingin. Menusuk sampai ke ulu hati.
Kepalanya terasa nyeri, bahkan ia hampir mencium dinding sewaktu akan
masuk ke kamar mandi. Selesai berpakaian, ia menuju ruang tamu, dan saat
itu ia mendengar suara piano dari villa. Ia segera keluar dari rumah
dan berjalan menuju villa Mikha. Pintunya terbuka. Dan dari luar
terlihat punggung Mikha dihiasi rambut hitamnya, tengah mencoba
memainkan sebuah lagu pada piano itu.
Cello berdiri di depan pintu.
“Pagi Mikha. Boleh masuk?” ucapnya.
Mikha menoleh, “pagi El. Kebetulan banget kamu datang! Boleh ajari aku lagu itu?”
“Maksud kamu, ‘Tuts V and V’?”
“Yup!”
Cello masuk, mendekati Mikha dan duduk di sampingnya.
“Kamu sakit El? Wajah kamu pucat.”
“Gak kok! Ayo kita mulai. Coba kamu perhatikan dulu ya. Lagu ini memang diciptakan untuk dimainkan berdua.”
Cello mulai memainkan lagu itu. Mikha memperhatikannya dengan serius.
Entah apa yang membuatnya ingin mempelajari lagu itu, sampai-sampai ia
bersikeras ingin menguasai lagu itu secepatnya. Bahkan setelah makan
siang, tanpa banyak berbasa-basi, mereka kembali bergumul dengan piano
dan lagu itu. Hingga malam.
Dan kini, Mikha hampir sepenuhnya menghafal not lagu itu dan
memainkannya dengan cukup baik, meski terkadang ia berhenti sejenak
untuk mengingat not berikutnnya.
“Mikha, kita lanjut lagi besok ya. Tanganku rasanya mau copot. Kamu
juga, harus istirahat. Jangan sampai sakit,” ucapnya sambil tersenyum.
“Ya. Terima kasih, sudah mau repot-repot mengajariku. Kamu juga
kelihatan kurang sehat. Sebaiknya, sampai di rumah langsung istirahat.”
“Oke. Selamat malam, Mikha.”
“Malam, El.”
Cello berjalan menuju pintu, dan tak sedetik pun mata Mikha
melewatkan memandangi punggung Cello hingga ia menghilang di balik
pintu, ketika Cello menutup pintunya.
Hari itu, penuh dengan melodi. Ya. Hanya melodi.
Pagi. Hari keenam.
Hari ini sepertinya lebih parah dibanding hari kemarin. Cello merasa
panas, dan tiba-tiba merasa dingin. Kepalanya terasa begitu sakit.
Dadanya terasa sesak, membuatnya agak sulit bernafas. Dan semua tampak
bergoyang. Ia tidak kuat berlama-lama di kamar mandi. Dan sekujur
tubuhnya terasa begitu letih, lemah. Ia sendiri tidak memahami
keadaannya.
Ia duduk sejenak di sofa. Dari villa Mikha, melodi ‘Tuts V and V’
mengalun lembut, menerobos tiap celah di rumah itu, hingga sampai ke
telinganya. Baru kali ini, ia mendengarkan lagu itu dimainkan oleh
seseorang. Rasanya begitu berbeda. Lebih menyentuh. Apa lagi, ketika
yang memainkannya adalah jemari sang maha cinta.
Melodi itu terasa seperti suplemen yang menambah tenaga.
Membangkitkan semangat dan memberi sedikit kekuatan. Cello bangkit
berdiri dan melangkah cepat menuju pintu villa Mikha. Pintu sudah
terbuka dan ia berdiri sejenak di sana. Memandangi lekat maha cintanya.
Hidupnya akan berakhir jika ia tak berhasil mendapatkan hati Mikha
dan membawanya kembali. Namun, ia tak berkuasa pula memaksanya. Ia tak
ingin cinta itu ternodai oleh keserakahan dan ketakutannya pada ajal.
“Pagi Mikha. Boleh masuk?”
Mikha berpaling, dan tersenyum, “pagi El. Ayo sini! Aku ingin kita memainkan lagu ini berdua!” ucapnya polos.
Cello melangkah perlahan dan duduk di samping Mikha. Ia melekatakkan jemarinya di atas piano.
“Ayo,” ajak Cello.
Kini jemari mereka menari lincah di atas piano. Menghidupkan
nada-nada indah yang lama terbelenggu. Yang tak sempat dimainkan berdua
oleh Venus dan Vero. Alunannya merobek udara, bergerilya di dalam villa,
mencari tiap celah untuk keluar. Membuat pepohonan dan rerumputan
seakan menari bersama.
Irama Cinta.
Dan, selesai.
Bersamaan dengan itu juga, Cello sudah jatuh pingsan di pundak kanan
Mikha. Mikha segera menoleh, dan ia begitu terkejut melihat Cello sudah
terpejam. Ia menyentuh pipi Cello, dan tubuhnya terasa begitu dingin.
“El! El!” Ia menepuk-nepuk pipi Cello.
Beruntung, pengurus tamannya sudah datang. Ia meminta tolong pria itu
memapah Cello ke kamarnya. Mikha menyelimutinya, kemudian menyalakan
penghangat ruangan. Ia menelepon seorang dokter dan memintanya untuk
datang. Kemudian ia duduk di dekat Cello, dan menggenggam tangan
kanannya.
—
Malam.
Cello mulai membuka mata. Ruangan itu tampak samar dan sedikit
berputar. Dilihatnya pula seorang gadis duduk di dekatnya dan melihatnya
dengan cemas. Ia mengenalinya.
“El?!”
“Mikha.” Suaranya hampir tak terdengar.
“Tadi dokter sudah memeriksa kamu. Dia bilang mungkin kamu kelelahan. Dia memberi obat untuk kamu minun nanti.”
“Percuma. Obat apa pun tidak akan bisa menyembuhkanku.”
“Kenapa ngomong begitu?!”
“Karena aku tidak sakit. Ini bukan tempatku. Dan aku tengah berada dalam
satu permainan. Aku hanya diberi waktu 7 kali senja. Dan besok, adalah
senja terakhir.”
“El!! Aku tidak suka dengan candaan kamu!”
“Aku tidak bercanda Mik!” Ia bangkit duduk. “Apa kamu pikir kedatanganku
ke tempat ini hanya sebuah candaan? Apa kamu pikir lagu yang kamu kenal
itu juga hanya sebuah candaan, hanya suatu ketidaksengajaan? Kebetulan
belaka?”
Mikha terdiam. Melihat mata Cello. Ia mencoba mencari sesuatu di
sana. Tetapi, sama sekali tidak ada dusta tergambar di sana, seperti
yang ia harapkan.
“Kamu bodoh El! Apa kamu tidak takut mati!?” Suaranya sedikit meninggi. “Bagaimana jika kamu tidak menemukan orang itu-”
“Aku sudah menemukannya,” potong Mikha. “Hanya saja, mungkin ia belum
menemukanku di dalam hatinya,” ia menatap lekat pada mata Mikha. “Aku
tidak takut mati, jika memang aku harus gagal. Yang terpenting, jangan
sampai aku menodai cinta itu dengan keegoisan dan nafsu untuk
memilikinya. Itulah cinta berbalut kasih.”
“Apa orang yang kamu maksud.. itu aku?”
Cello hanya mengangguk.
Mikha menunduk, menatap kosong. Ia tak dapat berpikir, tak dapat pula menjawab.
“Kamu istirahat saja di sini. Aku tidur di kamar tamu. Malam El.” Ia
bangkit berdiri, dan melangkah keluar dari kamar itu, tanpa mengucapkan
kata-kata lain. Cello hanya diam, memandangi Mikha hingga ia menghilang
di balik pintu.
Hari itu, penuh dengan keheningan.
—
Pagi ini tak seperti biasanya. Ketika membuka mata, Mikha merasakan
debaran jantungnya bergerak cepat. Ada sunyi yang begitu pekat hadir di
dekatnya. Ia duduk untuk sesaat di atas tempat tidur, sembari mencoba
mengingat-ngingat akan kejadian semalam. Ia ingin pembicaraannya dengan
Cello saat itu hanyalah sebuah mimpi. Bahkan ia menginginkan, Cello
hanyalah mimpi.
Tetapi sesuatu membuatnya segera bangkit berdiri. ‘Hari ini’. Entah
kenapa, tiba-tiba ia begitu takut kehilangan Cello. Ia berlari menuju
kamarnya. Dan dengan sigap membuka pintu. Tetapi, kamar itu telah
kosong, dan selimut yang dipakai Cello telah terlipat rapi. Ia melihat
ada sesuatu terletak di atas kasur. Ia mendekatinya dan memungutnya. Itu
setangkai bunga mawar putih dari kertas. Bunga yang sama seperti yang
diberikan Cello kepadanya pada perjumpaan pertama mereka. Ada sebuah
kertas yang diselipkan pada bunga itu. Mikha membukanya: ‘Awal dari
perjumpaan. Akhir dari perpisahan’.
Mikha segera meletakkan bunga dan kertas itu, dan berlari keluar
villa. Ia berlari menyusuri jalan di pagi yang masih dini itu. Mata dan
kepalanya liar melihat ke segala arah, mencari, dan mencari. Ia tidak
tahu ke mana kaki itu akan menggiringnya. Yang ia inginkan hanya terus
berlari dan secepatnya menemukan Cello.
Entah sudah berapa lama ia mencari, dan entah sudah berapa jauh ia
berlari. Kini langkah-langkahnya mulai melambat. Nafasnya memburu.
Keringat mengucur di wajahnya. Setiap tetesnya bertabuh seirama dengan
rasa takutnya. Takut, ia tidak akan bertemu lagi dengan Cello.
Beruntung sesuatu melintas cepat di kepalanya, ketika ia melihat
sekawanan anak muda yang akan berangkat kuliah. Ia segera teringat
kampus yang pernah ditunjukkan Cello padanya. Tanpa berlama-lama, ia
segera mengambil langkah lari cepat menuju kampus itu. Tak peduli berapa
jauh ia harus berbalik arah, yang terpenting ia bisa menemukan Cello.
Sekarang ia sudah berada di depan gerbang kampus. Gerbang itu
terbuka. Ia yakin bahwa Cello telah masuk ke dalamnya. Maka dengan
langkah-langkah cepat ia masuk ke kampus itu. Saat itu juga ia merasakan
perubahan udara di sekitarnya. Lebih dingin dibanding sesaat sebelum ia
masuk. Tapi ia tidak peduli. Bahkan ketika melihat beberapa burung
Gagak bertengger di sebuah pohon tua yang sudah kering. Tempat itu jauh
lebih menyeramkan dari sebelumnya.
Kini ia sudah menapaki anak-anak tangga. Lantai dua. Lantai tiga. Ia
berjalan lurus, menuju ruangan paling ujung. Debar jantungnya tidak
seperti biasa. Debaran rasa takut dan cinta bergerak, melangkah bersama.
Ia sudah berdiri di depan pintu. Tangannya memegang knop. Memutarnya
perlahan. Dan membukanya dengan satu dorongan keras. Pintu itu terbuka
lebar. Udara berhembus keluar menyapu tubuhnya.
Dan ia menemukan suasana yang lain. Keindahan sedang menjajah ruangan
itu. Taburan kelopak bunga mawar putih bertebaran di lantai. Jendela
itu dibiarkan terbuka. Gorden putih tipis yang bersih ditiup angin
lembut. Dan cahaya mentari pagi sedang bertamu di dalamnya. Yang
terindah adalah, ia menemukan maha cinta tengah duduk di sana.
Cello cukup terkejut melihat kedatangan Mikha. Ia segera bangkit dari kursi piano itu.
“Mikha?”
Tanpa berkata-kata, Mikha segera berlari ke dalam dan memeluk Cello
dengan erat. Cello menyambut pelukan itu. Kini dua jantung manusia itu
bertabuh seirama. Bagaikan melodi-melodi yang merangkai kidung cinta
terindah.
“Bawa aku ke tempatmu, El!”
“Tapi, Mik! Apa kamu yakin? Aku tidak bisa membawa kamu dengan hati yang terpaksa!”
“Aku telah menemukan kamu di hatiku.” Ia tidak berbohong. “Ayo kita
mainkan lagu itu bersama. Dan lagi, aku tidak mau mati di sini!”
“Ah! Iya!”
Mereka berdua duduk berdampingan di kursi itu. Meletakkan tangan di
atas tuts-tuts piano yang tersisa. Melihat dan mengamatinya dengan
seksama. Kesalahan kecil berakibat kutuk.
“Awal hingga akhir. Akhir hingga awal. Kamu mengingatnya ‘kan, Mik?”
“Ya,” ia mengangguk mantap.
DIMULAI
* * *
_Awal hingga akhir_
Musik mengalun.
Terjadi sesuatu di ruangan itu. Benda-benda di dalam sana bergetar.
Beberapa benda keramik jatuh dan pecah. Ada tiupan angin yang tak biasa
mulai bergejolak di dalam sana, membawa serta kelopak-kelopak bunga itu.
Jendela terbuka lebar. Gorden itu dijambak keluar. Perlahan muncul satu
cahaya yang tak begitu silau. Menerangi ruangan itu, bersamanya ruangan
itu seakan berputar. Membawanya kembali kepada keadaan beberapa tahun
silam. Potongan-potongan kejadian mulai berjalan.
Sepasang muda-mudi berdiri di dekat piano itu. Laki-laki itu memberi
sebuah buku lagu kepada gadis manis di depannya. “Itu adalah cinta,”
ucap laki-laki itu. Suatu senja gadis manis itu datang ke ruangan itu
lagi. Ia menunggu kekasihnya. Tiba-tiba pintu terbuka, “Ve? Itu kamu?
Ve, jangan bercanda.” Yang muncul di sana bukanlah orang yang
dinantinya. Melainkan seseorang dengan mantel hitam bersimbah darah
dengan palu di tangannya. “Sedang apa bapak di sini?” ia mengenali
manusia berjiwa setan itu! Bersama sunyi, gelap yang mencekam, dan
halilintar yang menjilati langit, satu fenomena keji terjadi di ruangan
itu. Histeris yang tak berkesudahan. Gadis manis itu akan dibantai.
Tetapi ia tidak rela mati di tangan bajingan busuk itu. Dan ia memilih
satu-satunya jalan keluar yang ada di sana. Ia berdiri di atas jendela.
Melihat ke bawah. Ketika hatinya telah mantap, ia menoleh untuk terakhir
kali, melihat dan merekam wajah monster itu. Membawa kenangan
tentangnnya dan kenangan tentang kekasihnya dalam satu lompatan bebas.
Tubuhnya mendarat telungkup di atas tanah yang basah. Jantung,
paru-paru, dan kepalanya, remuk seketika. Namun kenangan itu tidak bisa
sirna, nafas penuh amarah tidak akan padam, dan ia merasakan satu
debaran terakhir sebelum semuanya berakhir. Debaran itu bukan miliknya,
tetapi milik seseorang yang lain, di balik tanah itu.
—
_Akhir hingga awal_
Musik mengalun.
Rentetan potongan kejadian itu bergerak mudur dalam hitungan
detik-detik yang cepat. Kini muncul potongan lain. Seorang pria dan
seorang laki-laki muda tengah berbicara serius di dalam satu ruangan.
Terlihat antara dosen dan muridnya.
“Ini sama saja dengan penipuan besar-besaran, Pak! Saya tahu lagu itu
bukan karangan Bapak. Saya telah lebih dahulu menemukan lagu itu dalam
tumpukan barang bekas di gudang. Lagu itu karangan seorang siswi yang
sudah lama meninggal, dan ia belum sempat mempertunjukkan karyanya. Lagu
itu milik, Sove!”
“Kau tidak mengerti apa-apa, Venus!”
“Saya mengerti, Bapak ingin sekali memiliki satu karya yang menjadi
masterpiece. Tetapi, keinginan itu telah membuat Bapak mabuk dan tidak
sadar bahwa yang Bapak lakukan ini salah! Karya agung tidak tercipta
hanya melalui otak, tetapi ia terlahir dari dalam hati dan perasaan!”
“Kau hanya anak ingusan! Jadi tutup mulutmu!” Rendy, dosen ‘sang
plagiator’ itu keluar dari ruangan tersebut dengan rasa amarah, benci,
dan takut yang luar biasa.
Suatu senja Venus sedang berada di ruang piano itu menunggu
kekasihnya Vero, untuk menepati janjinya memainkan lagu ‘Tuts V and V’
itu. Dan sebagai hadiah tepat di hari ulang tahun Vero. Tiba-tiba pintu
terbuka. “Vero, itu kamu?” tanyanya dalam nada riang. Tetapi semuanya
berubah ketika yang dilihatnya berdiri di depan pintu itu bukanlah Vero
melainkan manusia yang telah kesetanan, dipenuhi arwah dendam, benci,
dan nafsu membunuh yang membabi-buta. Tanpa banyak berkata-kata, pria
itu menyerang Venus berkali-kali dengan palu yang ada di tangannya. Ia
menyeret keluar tubuh Venus dan menjatuhkannya melalui anak-anak tangga.
Venus tidak berdaya melawan palu itu. Tubuhnya diseret dan digiring ke
tempat pembantaian terakhir.
Di belakang kampus, sebuah lubang sempit yang tidak begitu dalam
telah digali. Dengan pandangan yang samar-samar, Venus melihat lubang
itu, dan ia diseret masuk ke dalamnya. Tubuhnya telentang menghadap
langit senja yang mendung. Sampai akhirnya ia merasakan gumpalan tanah
dingin perlahan-lahan menyelimuti tubuhnya. Seluruhnya.
Dan pada detik-detik terakhir nafas yang tersisa. Ia merasakan ada
sebuah tubuh yang jatuh tepat di atasnya. Hujan membawa masuk aroma
tubuh itu ke dalam tanah. Aroma parfum yang begitu ia kenal. Aroma milik
Vero. Di permukaan tanah itu, terbaring tubuh kekasihnya. Debaran
terakhir digunakannya untuk mengucapkan sesuatu dari hati terdalam, “Aku
mencintai kamu Vero. Selamanya..”
Gadis itu bisa merasakan debar jantung itu. Di balik tanah itu, ada
degub jantung seorang manusia. Ia pernah hidup. Dicintai dan mencintai.
Manusia itu adalah maha cintanya. Venus.
—
BERAKHIR
Cello jatuh ke lantai, tidak sadarkan diri. Tubuhnya semakin dingin.
Mikha segera memangku kepalanya dan mencoba membangunkannya. Ia semakin
takut ketika melihat tubuh Cello berubah menjadi uap dingin yang bersatu
di udara dan terlihat semakin tipis.
Sampai akhirnya, satu suara mengejutkan Mikha.
“Jangan khawatir, Mikha. Cello hanya tertidur.” Itu Venus.
Mikha begitu terkejut melihat dua orang muda-mudi datang berjalan
mendekatinya. Ia baru saja melihat wajah mereka dalam potongan-potongan
kejadian itu. Dan melihat mereka berakhir dengan mengenaskan. Tetapi
yang dilihatnya kini hanya dua orang manusia yang pernah hidup dengan
aura kedamaian yang memancar dari wajah mereka.
“Venus dan Vero?”
“Iya,” Vero menjawab dengan senyum, “salam kenal, Mikha.”
Venus melangkah mendekati tubuh Cello. Ia berjongkok dan menggenggam
erat tangan kanannya. Uap dingin yang melebur dari tubuh Cello seketika
kembali, bersatu dan memadat. Tubuh dinginnya berubah menjadi hangat.
Wajahnya merona, sehat. Venus berdiri dan tanpa ragu menarik tangan
Cello, dan bersamaan Cello seakan kembali dari kematian dan segera
bangkit berdiri. Ia cukup terkejut ketika melihat Venus dan Vero ada di
sana.
“Kami tidak punya waktu banyak untuk berbincang-bincang dengan kalian
sambil menikmati secangkir teh. Tapi, kami sangat berterima kasih,
karena kalian telah mempertemukan kami kembali di sini. Sekarang, kami
telah siap untuk berangkat dan melupakan dendam itu. Namun, aku berharap
kepadamu Cello, agar kau bisa menegakkan keadilan bagi kami berdua,”
ucap Venus.
“Terima kasih Mikha, karena cintamu kepada Cello, telah melepaskan kami dari ikatan dendam dunia,” ucap Vero disertai senyuman.
“Sekarang kami harus pergi. Pintu keluar kalian, sudah terbuka.”
Vero memeluk Mikha, dan Venus memeluk Cello. Tanda persaudaraan dan
persahabatan antara manusia dan mantan manusia. Venus dan Vero menjauh
dari mereka. Bergandengan tangan dan berjalan menuju satu cahaya.
Kemudian menghilang.
Semuanya kembali seperti semula. Tanpa berlama-lama, Cello
menggandeng erat tangan Mikha dan membawanya berlari menuju pintu
keluar. Ia memegang erat knop pintu, dan membukanya dengan lantang.
Segera cahaya silau menyapa mata mereka. Dan ketika semuanya mulai
jelas. Cello melihat kerumunan orang banyak di depan ruangan itu. Ia
juga melihat sohibnya, Remi dan Arta. Ada garis polisi yang menghalangi
pintu itu. Cello dan Mikha menerobosnya keluar.
Semua orang yang ada di sana begitu terkejut dan tidak percaya. Ada
beberapa waktu lamanya, keheningan itu berlangsung. Sampai akhirnya
Cello membuka mulut kepada polisi yang mendakwa tempat itu sebagai TKP.
“Pak, ada dua mayat di belakang gedung itu. Mayat itu adalah Venus dan
Vero, dua mahasiswa yang dinyatakan hilang beberapa tahun yang lalu.
Mereka dibunuh oleh seorang dosen di kampus ini, bersama Rendy. Rendy
melakukannya karena dia tidak mau kedoknya terbongkar, mengenai kasus
plagiasi lagu karya almarhum Sove.”
Setelah menceritakan kejadian itu secara detail, Cello kembali
pingsan. Ia dilarikan ke rumah sakit, dan polisi segera menangani kasus
itu. Tubuh Venus dan Vero benar-benar ditemukan di sana, dalam rupa
kerangka. Rendy, manusia keji itu segera ditangkap di kediamannya, dan
mendapat hukuman dengan pasal berlapis. Hasil akhirnya, kurungan seumur
hidup.
—
- Coffee Break -
“Kamu sedang apa, sayang?” tanya Mikha sambil membawa dua gelas kopi
hangat ke atas meja makan. Di meja itu Cello terlihat sangat serius
dengan laptopnya. “Kamu serius, banget. Jangan bilang kamu sedang
mikirkan cara untuk melamar laptop itu!” candanya, sambil merangkul
Cello dari belakang.
“Hahahaha!! Aku sedang menuliskan kisah cinta kita! Dan ini hampir selesai!”
“Kamu tidak melewatkan soal tanah yang jadi alas tidurmu dan langit atapmu, ‘kan?”
“HAHAHA!! Tidak akan ada satu bagian pun yang terlewatkan!”
“Lalu, bagaimana kamu mengakhiri ceritanya?”
“Dengan sebuah puisi. Bunyinya;
_ Cinta..
Satu zat tanpa satuan.
Bereaksi tajam menembus segala kepadatan.
Seperti racun, yang memompa jantung.
Berdenyut kencang, membekukan darah.
Melumpuhkan syaraf. Stroke seketika.
Itulah defenisi cintaku..
Ketika tetesannya jatuh darimu.
Tepat di sini. -
Aduh, ini apa sih! Kelihatannya mataku udah ‘gak beres!”
“Masa? Coba aku lihat. Yang mana?” Mikha mendekatkan kepalanya ke samping wajah Cello.
“Ini. Kata terakhir.”
“Oh! Itu kata,
Hati_”
Cello segera mencium pipi Mikha.
Udara bertiup lembut membelai gorden di ruang makan itu. Membawa
udara surgawi masuk ke dalamnya. Cahaya mentari pagi sedang berlari
riang di ruangan itu. Dan lagi, ada cinta abadi yang menetap di sana.
^_The End_^
Puspita Sandra Dewi
Terima kasih telah merepublish cerpan ini. ^_^
BalasHapusGanbate. :D
Salam,
Sandra.